Artikel Niatkan karena Lillah.
Dengan semangat kita berdakwah
Nama: Atikah andriani
NIM: 170254243002
KADER FOSMI SAFINATUL 'ULUM
Jurusan: Budi Daya Perairan
Fakultas: Ilmu Kelautan dan
Perikanan
Universitas Maritim Raja Ali
Haji
Niatkan karena Lillah.
Dengan semangat kita
berdakwah
Niat
adalah hal yang sangat mendasar dalam ajaran Islam. Seluruh amal perbuatan kita
tanpa niat tidak akan diterima Allah swt. Bahkan, niatlah yang menjadi pembeda
mana amal yang bersifat ibadah dan mana yang bukan. Mandi pagi bisa bernilai
ibadah, bisa juga hanya rutinitas sehari-hari, itu tergantung apa yang kita
niatkan saat melakukannya.
Karena itu, meluruskan niat merupakan perkara
yang mendasar. Apakah niat kita dalam berdakwah? Sudahkan Lillahi Ta’ala.
Ikhlas hanya mengharapkan mardhatillah, keridhaan Allah. Bukan karena mengincar
jabatan, kekayaan, popularitas, atau mengejar wanita yang ingin diperistri,
seperti yang diilustrasikan Rasulullah saw. dalam hadits tentang niat.
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا
لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا
أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan)
bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; barangsiapa niat
hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang
ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan. (Bukhari)
Jika niat kita ikhlas Lillahi Ta’ala, maka itulah
perjanjian kita di hadapan Allah swt. Lantas, sudahkan kita teguh dengan al-ahd(perjanjian)
itu? Allah swt. mengabarkan kepada kita tentang para dai sebelum kita. Mereka
memiliki keteguhan dalam memegang janjinya. “Diantara orang-orang mukmin itu
ada golongan yang membenarkan janjinya kepada Allah, sebagian diantaranya telah
menunaikan janjinya (dengan menemui kesyahidan) dan sebagian lagi masih
menanti, tanpa mengubah janji itu sedikitpun”. (Al Ahzab: 23)
Karena itu, tak salah jika kita selalu
mengulang-ulang ikrar keikhlasan janji kita di setiap kali menunaikan shalat,
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku untuk Allah Pencipta alam
semesta.” (Al-An’am: 162). Secara sadar kita meluruskan niat kita dalam sehari
setidaknya lima kali.
Benarkah seluruh kehidupan kita akankah kita
korbankan untuk kehidupan tak ada batasnya di akhirat nanti? Atau, hanya untuk
mengejar kedudukan di dunia? Orang yang cerdas pasti tidak mau. Sebab, kita
tahu nilai dunia itu tidak seberapa. Kata Nabi saw.,
لَوْ كَانَتْ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ
اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ
“Seandainya dunia ini ditimbang, maka nilainya di
sisi Allah sama seperti salah satu sayap nyamuk. Allah tidak akan memberikan di
dunia ini, walaupun seteguk air saja, untuk orang-orang yang ingkar.” (H.R.
Tirmidzi, no. 2242, shahih gharib)
Selain itu, dari ayat 23 surat Al-Ahzab, kita
juga mengambil pelajaran bahwa al-istimroriyah, kontinuitas di
jalan dakwah, adalah termasuk dalam salah satu perjanjian kita di hadapan
Allah. Dan memang begitulah yang dicontohkan oleh para dai generasi awal Islam
yang dibimbing oleh Rasulullah saw. Mereka tidak kenal lelah dan putus asa.
Sahabat-sahabat Nabi saw. menjalani setiap fase dakwah berikut cobaan demi
cobaan berat yang harus mereka lalui.
Kepada mereka, Rasulullah saw. menceritakan
pengalaman dai generasi sebelumnya. Mereka ada yang digergaji, tetapi mereka
tetap sabar. Itu bukan untuk menganggap kecil cobaan yang dihadapi oleh para
sahabat. Fitnah yang mereka terima bukan hanya berupa intimidasi kata-kata,
tetapi sudah berlumuran darah.
Apa yang membuat para sahabat bisa demikian teguh
di medan dakwah? Husnu tsiqah dan bersandar terus kepada
Allah Ta’ala lah yang memberikan ketenangan kepada mereka semua untuk terus
langkah. Dengan begitu mereka bisa tenang dan tegar, meski zaman ini cepat
sekali berubah tanpa terasa. Seorang tabi’in (generasi
setelah sahabat Nabi) berkata, “Ayahku bercerita kepadaku: ‘Aku melihat Romawi
menjatuhkan Persia, kemudian aku melihat pula Persia menjatuhkan Romawi. Dan,
akhirnya aku melihat Islam meruntuhkan kedua-duanya hanya dalam waktu 15 tahun
saja”. Tumbangnya Persia dan Romawi oleh kekuatan Islam hanya memakan waktu tak
lebih dari 15 tahun. Begitulah capaian dakwah yang diasung oleh dai-dai yang
ikhlas, teguh dalam memegang perjanjiannya dengan Allah, dan beramal secara
kontinu tiada henti. Itulah buah dari kekuatan iman.
Namun bila hasil dakwah yang ditargetkan tidak
seperti yang diharapkan, seorang dai masih bisa berharap mudah-mudahan
kecapaian dan kelelahannya dalam berdakwah semuanya dihitung di sisi Allah
Ta’ala, sekurang-kurangnya sebagai kaffaratun li adz dzunub (menghapus
dosa). Begitulah yang disabdakan Rasulullah saw. dalam hadits nomor 5210 yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا
وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا
إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit
dan keletihan, kekhawatiran dan kesedihan, dan tidak juga gangguan dan
kesusahan bahkan duri yang melukainya melainkan Allah akan menghapus
dosa-dosanya.”
Bukankah penghapusan dosa itu sudah lebih bagus
daripada sekadar mendapat jabatan dunia. Khairun min ad-dunya wa maa
fiiha(lebih baik dari dunia dan seisinya). Setiap hari berapa dosa yang
kita pikul? Jika Allah mengampuninya, itu lebih baik dari segala-galanya.
*****
Perkara yang kedua yang harus selalu dilakukan
oleh para dai adalah merapatkan barisan. Hal ini harus menjadi visi para dai
bahwa mereka punya peran sebagai perekat umat. Karena itu, setiap dai harus
punya spirit “kita bergabung dan bertemu menjadi kokoh dalam satu barisan tanpa
merasa diri paling benar (‘ala ghairil ashwab), itu jauh lebih baik
daripada kita terpisah-pisah dalam posisi merasa diri paling benar (ashwab)”.
Begitulah perintah Allah swt. kepada kita.
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali
(agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat
Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang
yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah
menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (Ali Imran: 103)
Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang
dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu
bangunan yang tersusun kokoh. (Ash-Shaf: 4)
Suatu ketika beberapa orang sahabat datang kepada
Rasulullah Saw, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Majah. “Kami semua makan, ya
Rasulullah, tapi tidak pernah merasa kenyang,” kata sahabat. Coba perhatikan,
bagaimana Rasulullah mengajarkan kepada kita suatu adab dan akhlak yang baik.
Apa jawab Rasulullah atas pertanyaan sahabat tadi?
“Boleh jadi kamu makan sendiri-sendiri?” Beliau
bertanya lebih lanjut. Maka, sahabat kemudian menjawab, “Benar, ya Rasulullah.”
Maka Rasulullah bersabda: “Kullu (kalian diharuskan untuk
makan) mujtami’in(bersama-sama) fa inna al barakah ma’al
jama’ah (karena keberkahan selalu beserta mereka yang berjamaah).”
Istilah al-jamaahyang dimaksudn adalah jama’atul
muslimin. Untuk makan saja Rasulullah saw. menyuruh kita untuk berjama’ah,
apalagi untuk berdakwah. Karena itu, para dai harus berperan sebagai penggalang
persatuan umat. Apapun kekurangan yang terdapat dalam tubuh umat, itulah
kondisi faktual yang harus kita perbaiki dalam kebersamaan. Para dai harus
mengajak semua komponen umat untuk bersatu memperbaiki segenap kekurangan yang
ada di tubuh umat ini.
Memang sulit menyatukan umat dalam satu barisan
yang kokoh. Tapi, apa pun yang bisa kita capai dan itu belum termasuk kategori
menggembirakan hasilnya, itu bukan sebuah kegagalan. Kita semua menyadari dalam
kamus seorang dai tidak ada ada entri kata “kekalahan”. Para dai selalu
“menang”, bila tidak di dunia, maka kemenangan di akhirat. Orang boleh menilai
agenda penyatuan umat yang kita dakwahkan tidak membuahkan hasil yang
signifikan, tetapi kita melihat kenyataan itu sebagai perkara yang paling baik
buat kita semua saat ini.
Bisa jadi itu juga cara Allah swt. menguji
keteguhan kita dalam berdakwah. Tujuannya adalah untuk memberi motivasi dan
dorongan kita agar semakin gigih dalam berdakwah. Sa’id Hawwa dalam bukunya “Al
Madkhal” bercerita tentang berbagai ujian. Ia mengatakan, ”Man lam
yakun lahu bidayah muhriqah laisa lahu nihayah musyriqah.” Barangsiapa
tidak memulai dengan muhriqah(sesuatu yang membuat terbakar,
penuh semangat dan kesusahan), maka tidak akan mendapat akhir yang musyriqah(cemerlang).”
Semoga kita bisa menegakkan dua perkara ini dalam
keseharian aktivitas dakwah kita. Amin.
“Bagaimana Mengistiqomahkan Semangat Dakwah”
Kata “Istiqomah” secara
bahasa berarti : Tegak dan Lurus
Sedangkan secara Istilah, para salafus
shalih memberikan beberapa definisi, diantaranya :
1.
Abu Bakar Ash Shiddiq
radhiallahu ‘anhu : “Hendaknya kamu tidak
menyekutukan Allah dengan apapun juga”.
2.
Umar bin Khattab
radhiallahu ‘anhu : “Hendaknya kita bertahan
dalam satu perintah atau larangan, tidak berpaling seperti berpalingnya seekor
musang”.
3.
Utsman bin Affan
radhiallahu ‘anhu : “Istiqomah artinya ikhlas”.
4.
Ali bin Abi Thalib
radhiallahu ‘anhu : “Istiqomah adalah
melaksanakan kewajiban”.
5.
Ibnu Abbas radhiallahu
‘anhu : “Istiqomah mengandung 3 macam arti : Istiqomah
dengan lisan (yaitu bertahan terus mengucapkan kalimat syahadat), istiqomah
dengan hati (artinya terus melakukan niat yang jujur) dan istiqomah dengan jiwa
(senantiasa melaksanakan ibadah dan ketaatan secara terus-menerus).
6.
Ar Raaghib : “Tetap berada di atas jalan yang lurus” [istiqomah,
Dr. Ahmad bin Yusuf Ad Duraiwisy, Darul Haq].
7.
Imam An Nawawi : “Tetap alam ketaatan” (Kitab
Riyadhus Shalihin). Sehingga Istiqomah mengandung pengertian : “tetap dalam ketaatan dan di atas jalan yang
lurus dalam beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla”.
8.
Mujahid : “Istiqamah adalah komitmen
terhadap syahadat tauhid sampai bertemu dengan Allah Taala”.
9.
Ibnu Taimiah : “Mereka beristiqamah
dalam mencintai dan beribadah kepada-Nya tanpa menoleh kiri kanan”.
Dengan kata lain istiqomah mengandung suatu arti mendalam dalam beribadah
kepada-Nya, mencintai sepenuh hati dalam mencari Ridha-Nya.
“Seseorang
yang istiqomah memiliki pendirian yang stabil dalam menuju Ridha Allah. Dia
tidak tergoyahkan oleh usia, lingkungan atau ujian dan cercaan. Dia bagaikan
karang yang melawan tempaan ombak.”(oasetarbiyah)
Istiqomah adalah kondisi dimana
kita dapat melakukan hal secara terus menerus yang diiringi dengan evaluasi,
peningkatan kualitas diri, sehingga timbul motivasi untuk terus memperbaiki diri.
Mengapa Engkau Menangis Ya
Rasulullah?
“Wahai Rasullullah… Bukankah
mayat yang diusung itu adalah seorang Yahudi? Dia bukan seorang Muslim Ya
Rasulullah.. Mengapa kau menangis?”, tanya seorang sahabat kepada baginda.
“Aku menangis karena tidak dapat
membawanya ke arah iman. Aku tidak dapat menyelamatkannya dari api neraka Allah
Subhanahu Wataa’la.”, jawab Nabi SAW.
Begitu cintanya beliau dengan
sesama makhluk Allah, bahkan dengan Yahudi sekalipun yang sudah jelas-jelas
menyekutukan Allah, apalagi kecintaan beliau dengan keluarganya, sahabatnya dan
bahkan Ummat beliau, karena CINTANYA yang begitu besarlah Nabi selalu istiqomah
mengemban amanah Allah, istiqomah dalam memerangi kejahiliyahan manusia.
Cercaan dan makian serta fitnah tak luput dari kehidupan beliau namun beliau
sangat istiqomah bahkan dengan nyawanya sekalipun beliau pertaruhkan.
Bisakah sahabat membayangkan,
apa jadinya jika Rasulullah tidak istiqomah???…..
Lantas… alasan apalagi yang
membuat kita tidak istiqomah??ujian kita tak sebanding dengan ujian yang
dialami oleh baginda Rasul, jauuuuhh lebih berat dari ujian kita.
Apa Penyebab Futur dan Lunturnya
Semangat Dakwah?
kepedulian kita terhadap sesama
dan lingkungan menyadarkan kita untuk selalu beristiqomah di jalanNya, namun
perjalanan itu tak semulus yang kita harapkan adakalanya kerikil-kerikil itu
pasti datang menghampiri bahkan bertubi-tubi hingga pada klimaksnya kita akan
mengalami kondisi dimana kejenuhan dan keputusasaan itu datang, yah… kondisi
futur memang telah hinggap, namun apakah akan kita biarkan begitu saja?kondisi
futur yang terus menurus akan mengerogoti semangat dakwah kita bahkan iman kita??
STOP. (berasa ngerem mendadak.hehehe). Sebenarnya terkadang
kita tidak dalam mengalami kondisi futur, hanya saja kejenuhan akan sesuatu hal
yang menyebabkan kita lelah dan bosan sehingga tidak bersemangat. Lunturnya
semangat dakwah tak hanya datang dari internal saja namun faktor eksternal juga
sangat berperan, kekecewaan akan sistem yang dijalankan, ekspektasi yang tinggi
terhadap makhluk Allah, sehingga timbul ketidakterimaan terhadap “kesalahan”
yang dilakukan oleh kader dakwah, begitu terpengaruhnya kita terhadap
lingkungan dan perkataan orang lain juga salah satu penyebab lunturnya
semangat.
Bagaimana menumbuhkan dan
Mendawamkan semangat Dakwah?
Sebenarnya ada banyak cara untuk
menumbuhkan semangat dan kemudian mendawamkannya, cara setiap orangpun berbeda-beda,
menyendiri dan bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah
bisa menjadi salah satu alternatif, mencari suasana baru, jalan santai
menikmati karunia dan kebesaran Allah.
Berikut adalah kita agar tetap
istiqomah:
1. Memahami dan mengamalkan dua kalimat syahadat dengan baik dan
benar,Allah Ta’ala berfirman,
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ
“Allah meneguhkan (iman)
orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia
dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang lalim dan memperbuat apa
yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim: 27)
Tafsiran ayat “Allah meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh …” dijelaskan dalam hadits berikut.
Tafsiran ayat “Allah meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh …” dijelaskan dalam hadits berikut.
الْمُسْلِمُ إِذَا سُئِلَ فِى الْقَبْرِ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، فَذَلِكَ قَوْلُهُ ( يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِى الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِى الآخِرَةِ )
“Jika seorang
muslim ditanya di dalam kubur, lalu ia berikrar bahwa tidak ada sesembahan yang
berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, maka inilah
tafsir ayat: “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan
yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat”.”9
Qotadah As Sadusi mengatakan,
“Yang dimaksud Allah meneguhkan orang beriman di dunia adalah dengan meneguhkan
mereka dalam kebaikan dan amalan sholih. Sedangkan di akhirat, mereka akan
diteguhkan di kubur (ketika menjawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir,
pen).” Perkataan semacam Qotadah diriwayatkan dari ulama salaf lainnya.10
Mengapa Allah bisa teguhkan
orang beriman di dunia dengan terus beramal sholih dan di akhirat (alam kubur)
dengan dimudahkan menjawab pertanyaan malaikat “Siapa Rabbmu, siapa Nabimu dan
apa agamamu”? Jawabannya adalah karena pemahaman dan pengamalannya
yang baik dan benar terhadap dua kalimat syahadat. Dia tentu memahami
makna dua kalimat syahadat dengan benar. Memenuhi rukun dan syaratnya. Serta
dia pula tidak menerjang larangan Allah berupa menyekutukan-Nya dengan selain-Nya,
yaitu berbuat syirik.
2. Mengkaji Al Qur’an dengan menghayati dan merenungkannya,Allah menceritakan bahwa Al Qur’an dapat meneguhkan hati
orang-orang beriman dan Al Qur’an adalah petunjuk kepada jalan yang lurus.
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ لِيُثَبِّتَ الَّذِينَ آمَنُوا وَهُدًى وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
“Katakanlah: “Ruhul Qudus
(Jibril)menurunkan Al Qur’an itu dari Rabbmu dengan benar, untuk
meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta
kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.” (QS.
An Nahl: 102)
Oleh karena itu, Al Qur’an itu diturunkan secara beangsur-angsur untuk meneguhkan hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana terdapat dalam ayat,
Oleh karena itu, Al Qur’an itu diturunkan secara beangsur-angsur untuk meneguhkan hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana terdapat dalam ayat,
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلا
“Berkatalah orang-orang yang
kafir: “Mengapa Al Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”;
demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami
membacakannya secara tartil (teratur dan benar).” (QS. Al Furqon: 32)
Al Qur’an adalah jalan utama agar seseorang bisa terus kokoh dalam agamanya. Alasannya, karena Al Qur’an adalah petunjuk dan obat bagi hati yang sedang ragu. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
Al Qur’an adalah jalan utama agar seseorang bisa terus kokoh dalam agamanya. Alasannya, karena Al Qur’an adalah petunjuk dan obat bagi hati yang sedang ragu. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ
“Al Qur’an itu adalah
petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Fushilat:
44). Qotadah mengatakan, “Allah telah menghiasi Al Qur’an sebagai cahaya dan
keberkahan serta sebagai obat penawar bagi orang-orang beriman.” Ibnu Katsir
menafsirkan ayat tersebut, “Katakanlah wahai Muhammad, Al Qur’an adalah petunjuk
bagi hati orang beriman dan obat penawar bagi hati dari berbagai keraguan.”14
Oleh karena itu, kita akan saksikan keadaan yang sangat berbeda antara orang yang gemar mengkaji Al Qur’an dan merenungkannya dengan orang yang hanya menyibukkan diri dengan perkataan filosof dan manusia lainnya. Orang yang giat merenungkan Al Qur’an dan memahaminya, tentu akan lebih kokoh dan teguh dalam agama ini. Inilah kiat yang mesti kita jalani agar kita bisa terus istiqomah.
Oleh karena itu, kita akan saksikan keadaan yang sangat berbeda antara orang yang gemar mengkaji Al Qur’an dan merenungkannya dengan orang yang hanya menyibukkan diri dengan perkataan filosof dan manusia lainnya. Orang yang giat merenungkan Al Qur’an dan memahaminya, tentu akan lebih kokoh dan teguh dalam agama ini. Inilah kiat yang mesti kita jalani agar kita bisa terus istiqomah.
3. Iltizam (konsekuen) dalam menjalankan syari’at Allah, Maksudnya di sini adalah seseorang dituntunkan untuk konsekuen
dalam menjalankan syari’at atau dalam beramal dan tidak putus di tengah jalan.
Karena konsekuen dalam beramal lebih dicintai oleh Allah daripada amalan yang
sesekali saja dilakukan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari ’Aisyah
–radhiyallahu ’anha-, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
”Amalan yang paling dicintai
oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.”
’Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk
merutinkannya.
An Nawawi rahimahullah mengatakan, ”Ketahuilah bahwa amalan yang sedikit namun konsekuen dilakukan, itu lebih baik dari amalan yang banyak namun cuma sesekali saja dilakukan. Ingatlah bahwa amalan sedikit yang rutin dilakukan akan melanggengkan amalan ketaatan, dzikir, pendekatan diri pada Allah, niat dan keikhlasan dalam beramal, juga akan membuat amalan tersebut diterima oleh Sang Kholiq Subhanahu wa Ta’ala. Amalan sedikit namun konsekuen dilakukan akan memberikan ganjaran yang besar dan berlipat dibandingkan dengan amalan yang sedikit namun sesekali saja dilakukan.”16
An Nawawi rahimahullah mengatakan, ”Ketahuilah bahwa amalan yang sedikit namun konsekuen dilakukan, itu lebih baik dari amalan yang banyak namun cuma sesekali saja dilakukan. Ingatlah bahwa amalan sedikit yang rutin dilakukan akan melanggengkan amalan ketaatan, dzikir, pendekatan diri pada Allah, niat dan keikhlasan dalam beramal, juga akan membuat amalan tersebut diterima oleh Sang Kholiq Subhanahu wa Ta’ala. Amalan sedikit namun konsekuen dilakukan akan memberikan ganjaran yang besar dan berlipat dibandingkan dengan amalan yang sedikit namun sesekali saja dilakukan.”16
Ibnu Rajab Al Hambali
menjelaskan, ”Amalan yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
adalah amalan yang konsekuen dilakukan (kontinu). Beliau pun melarang
memutuskan amalan dan meninggalkannya begitu saja. Sebagaimana beliau pernah
melarang melakukan hal ini pada sahabat ’Abdullah bin ’Umar.”Yaitu Ibnu ’Umar
dicela karena meninggalkan amalan shalat malam.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al
‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia mengatakan bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padanya,
يَا عَبْدَ اللَّهِ ، لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ ، كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ
”Wahai ‘Abdullah, janganlah
engkau seperti si fulan. Dulu dia biasa mengerjakan shalat malam, namun
sekarang dia tidak mengerjakannya lagi.”
Selain amalan yang kontinu
dicintai oleh Allah, amalan tersebut juga dapat mencegah masuknya virus ”futur”
(jenuh untuk beramal). Jika seseorang beramal sesekali namun banyak, kadang
akan muncul rasa malas dan jenuh. Sebaliknya jika seseorang beramal sedikit
namun ajeg (terus menerus), maka rasa malas pun akan hilang dan rasa semangat
untuk beramal akan selalu ada. Itulah mengapa kita dianjurkan untuk beramal yang
penting kontinu walaupun jumlahnya sedikit.
Semoga Allah senantiasa
melimpahkan rahmat dan karuniaNya kepada hamba-hambaNya, menguatkan kita untuk
terus istiqomah dijalan Dakwah.
Sign up here with your email